Kelangkaan Beras & Liberalisasi Pertanian (dimuat di Harian Sriwijaya Post, Selasa 6 Maret 2007) 

            Kompleksnya permasalahan pertanian terutama permasalahan perberasan sudah seharusnya tidak hanya dibebankan dipundak Departemen Pertanian ansich, sebagai Ketua Dewan Ketahanan Pangan (DKP) dan juga memimpin langsung upaya pengentasan kemiskinan, Presiden sudah seharusnya lebih bekerja keras berkoordinasi dan mengarahkan para menteri terkait agar bahu-membahu menyelesaikan permasalahan manajemen perberasan di negara ini.

            Produksi beras  secara nasional mengalami penurunan dari tahun ke tahun terjadi sebagai akibat semangkin berkurangnya lahan subur, langkanya pupuk serta harganya yang mencekik petani juga menjadi alasan lain mengapa terjadi penurunan produksi, menumpuknya permasalahan-permasalahan ini membuat petani kita enggan untuk menanam padi karena terus merugi. Beruat berakarnya permasalahan perberasan ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang menjadikan sektor pertanian menjadi liberal dan sangat dekat dengan mekanisme pasar.  Kaitan antara langkanya beras di pasaran domestik serta terus dibukanya keran impor jarang dikaitkan dengan permasalahan liberalisasi  bidang pertanian.            Secara tajam Ginting (2006), mengatakan bahwa sesungguhnya kita tidak pernah mencapai swasembada pangan.  Gelar negara swasembada pangan beras tahun 1985 oleh FAO hanya merupakan prestasi semu yang membuat korporatokrasi global leluasa melegitimasi program intensifikasi pertanian yang jenuh dengan pupuk, padahal penggunaan pupuk yang tidak berimbang dapat merusak struktur tanah.  Saat ini petani kita sangat bergantung dengan pupuk ditambah lagi jenis-jenis padi yang umum ditanam di Indonesia merupakan jenis padi yang memerlukan pupuk dalam kadar tinggi.            Permasalahan pertanian ini kemudian terus berlanjut dengan disepakatinya GATT (Global Agreement on Tariff and Trade) tahun 1994 dan kemudian berubah menjadi WTO (World Trade Organization) tahun 1995 yang didukung lebih dari 140 negara termasuk Indonesia sebagai salah satu negara pendiri.  WTO pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan liberalisasi perdagangan internasional dengan bahasa halusnya pasar bebas.  Walaupun WTO hanya wadah perjanjian multilateral, namun WTO mempunyai kekuasaan untuk mengawasi negara-negara mana yang tidak menjalankan kesepakatan bahkan menjatuhkan sanksi, melalui WTO inilah pertanian mengalami penetrasi sistematis.

            Penetrasi ke sektor pertanian dijalin WTO melaui AOA (Agreement on Agriculture).  Ada tiga point penting dalam AOA, yaitu :  Pertama, setiap negara anggota harus membuka pasar domestiknya terhadap produk-produk pertanian luar negeri atau dikenal dengan kebijakan market accses.  Kedua, setiap negara harus mengurangi dukungan dan subsidi terhadap petaninya atau dikenal dengan kebijakan domestic support.  Ketiga, mengurangi bentuk dukungan dan subsidi untuk petani dalam hal ekspor atau dikenal dengan kebijakan export competition.